Selasa, 04 Januari 2011

Mengembangkan Ekoturisme Danau Toba


PDF Cetak Email
Oleh: Frans Hunter Siboro
Setiap kali terbang melintasi kawasan Danau Toba dengan pesawat kecil tipe Cassa 212-200 dan CN-235 dalam perjalanan dari Medan ke Nias, saya takjub melihat keindahan Danau Toba yang luar biasa.
Pemandangan dari udara memperlihatkan hamparan air membiru terbentang luas yang dikelilingi perbukitan hijau yang menawan. Di tengah danau berukuran 1.700 meter persegi ini terdapat Pulau Samosir yang sangat indah. Pesona keindahan Danau Toba ibarat lukisan indah karya agung Sang Maha Kuasa.

Terabaikan
Tidak bisa dimungkiri bahwa Danau Toba merupakan salah satu ikon kebanggaan bangsa Indonesia khususnya masyarakat Sumatera Utara. Danau Toba yang terbentuk dari kombinasi proses vulkanologi (letusan gunung api raksasa ‘supervolcano’ Toba) dan geologi menjadi salah satu daerah wisata andalan yang memiliki beragam potensi luar biasa.
Namun di tengah berbagai potensi yang dimiliki, Danau Toba justru terabaikan dan ditelantarkan. Kondisi Danau Toba saat ini sangat memprihatinkan mulai dari pencemaran lingkungan (terutama kualitas air), perusakan cagar alam, situs warisan sejarah yang tidak terawat hingga ancaman kepunahan budaya otentik setempat.
Pencemaran semakin parah ketika budidaya ikan di keramba jaring apung berkembang hingga melebihi daya dukung (carrying capacity) lingkungan Danau Toba. Apalagi ketika beberapa perusahaan berskala besar ikut membudidayakan ikan dengan sistem ini. Sebagai contoh, pada tahun 2007 akibat maraknya keramba ikan yang tidak terkendali, tingkat pencemaran amoniak (yang ditimbulkan proses pakan ternak ikan) sudah mencapai 0,20 ppm dari sebelumnya sekitar 0,1 ppm. Sementara kandungan nitrat dalam danau meningkat dari sekitar 5 ppm menjadi 11,075 ppm.
Sementara itu perambahan hutan di daerah tangkapan air Danau Toba juga marak. Pembuangan limbah industri wisata seperti tumpukan sampah plastik juga menjadi ancaman serius. Kini Danau Toba cenderung hanya dieksploitasi untuk tujuan komersial tanpa memperhatikan keseimbangan alam, kultur lokal, dan pelestarian lingkungan.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan dan pelestarian Danau Toba. Pihak Pemprovsu dan tujuh Pemkab (secara geografis administratif memiliki wilayah di kawasan Danau Toba) yang seharusnya bertanggungjawab dalam pengelolaan kawasan Danau Toba terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Koordinasi antara Pemda sangat lemah karena para kepala daerah terkesan kurang peduli dan enggan untuk duduk bersama-sama membicarakan pengelolaan terpadu Danau yang "mambahen malungun saluhut nasa bangso" ini (syair lagu Nahum Situmorang).
Bahkan Pesta Danau Toba (PDT) sebagai kegiatan promosi kebudayaan dan pariwisata Danau Toba baru dilaksanakan kembali tahun 2008 setelah terhenti selama lebih dari sepuluh tahun.

Pengembangan Ekoturisme
Potret buruk Danau Toba yang terabaikan harus segera diakhiri. Pemerintah dan stakeholders terkait harus proaktif dan bersinergi dalam mengembangkan dan menyelamatkan potensi Danau Toba. Berbagai kepentingan dan ego sektoral harus disingkirkan demi terwujudnya kesatuan gerak dan langkah dalam menyelamatkan kawasan Danau Toba.
Untuk itu Pemprovsu harus mendorong dan memfasilitasi ketujuh Pemkab terkait dalam merancang upaya komprehensif memajukan Danau Toba. Pembentukan badan otorita khusus yang benar-benar fokus dalam mengembangkan potensi dan melestarikan Danau Toba patut dipertimbangkan mengingat pemerintah pusat telah menetapkan Danau Toba sebagai salah satu kawasan Strategis Nasional (Stranas) berdasarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang tata ruang.
Menindaklanjuti hal ini maka pimpinan daerah (eksekutif dan legislatif) harus proaktif melobi pemerintah pusat agar mempercepat terbitnya Perpres tentang kawasan Danau Toba.
Salah satu strategi yang tepat dalam menyelamatkan Danau Toba adalah dengan pengembangan ekoturisme secara menyeluruh di kawasan Danau Toba. Ekoturisme atau ecologycal tourism (pariwisata ekologi) berarti perjalanan wisata ke area alam yang mampu memelihara lingkungan serta bertanggungjawab untuk memelihara keberadaan manusia dan mahluk hidup di sekitarnya untuk tetap hidup aman dan nyaman dalam lingkungannya (Blangly and Megan, 1994).
Ada 5 prinsip utama ekoturisme (Cooper; 1997) yaitu 1) pariwisata yang berkonsentrasi pada penyokongan keberlanjutan pelestarian alam (sustainable), 2) bahwa lingkungan alam harus aman dan terjamin keselamatannya untuk dijadikan harta warisan bagi generasi mendatang, 3) pemeliharaan beragam mahluk yang ada di sekitarnya, baik manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lainnya. Keragaman makhluk hidup diyakini dapat bertahan jika secara ekosistem terjaga. 4) perencanaan dan implementasi holistik sehingga harmonisasi alam dengan manusia dan totalitas lingkungannya (environmental integrity) jadi kenyataan, 5) seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pariwisata tersebut mendapat manfaat.
Ekoturisme akan menempatkan penduduk setempat menjadi subyek utama kegiatan pariwisata Danau Toba. Inisiatif seluruh kegiatan pariwisata akan datang dari bawah (penduduk sekitar Danau Toba) karena merekalah yang paling memahami dan merasakan dampak industri pariwisata di wilayahnya masing-masing.
Pemerintah harus duduk bersama elemen masyarakat dalam mencari solusi berbagai permasalahan danau Toba. Seluruh komponen masyarakat mulai dari peternak ikan, pelaku pariwisata, petani, usaha kerajinan, budayawan lokal, hingga pelaku usaha kayu dan tambang harus ikut memikul tanggungjawab bersama mengembangkan dan menyelamatkan Danau Toba. Dengan partisipasi seluruh pihak yang didasari akal sehat dan hati nurani maka kompleksitas permasalahan Danau Toba bisa ditangani secara elegan.
Akhirnya, komitmen pemerintah dan partisipasi seluruh elemen masyarakat (komunitas lokal) akan menjadi kunci utama dalam mengembangkan dan menyelamatkan kawasan Danau Toba. •••

Tidak ada komentar:

Posting Komentar